Sarangberita.com – Dunia internasional kembali berduka dengan tewasnya 13 tentara penjaga perdamaian dalam pertempuran sengit di wilayah timur Republik Demokratik Kongo. Insiden tragis ini terjadi pada 25 Januari 2025 dan menjadi salah satu serangan paling mematikan terhadap pasukan penjaga perdamaian PBB dalam beberapa tahun terakhir.
Kronologi Kejadian
Pertempuran berlangsung di sekitar kota Goma, sebuah pusat regional strategis dengan populasi sekitar 2 juta jiwa. Serangan dilakukan oleh kelompok pemberontak M23, yang selama beberapa minggu terakhir telah meningkatkan aktivitas militer mereka dan berhasil menguasai wilayah signifikan di Kongo timur.
Dari 13 korban yang tewas, terdiri dari:
- 2 tentara Afrika Selatan,
- 1 tentara Uruguay, dan
- 3 tentara Malawi, yang semuanya tergabung dalam Misi Stabilisasi PBB di Kongo (MONUSCO).
Selain itu, sembilan tentara Afrika Selatan lainnya dari Misi Komunitas Pembangunan Afrika Selatan (SAMIDRC) juga tewas dalam pertempuran tersebut. Mereka kehilangan nyawa saat mempertahankan posisi di sekitar Goma dari serangan masif pemberontak M23.
Ancaman dari Pemberontak M23
Kelompok M23, yang sebagian besar terdiri dari etnis Tutsi, merupakan faksi yang memisahkan diri dari tentara Kongo lebih dari satu dekade lalu. Mereka dituduh oleh pemerintah Kongo, Amerika Serikat, dan ahli PBB menerima dukungan militer dari Rwanda, meskipun klaim ini dibantah keras oleh pemerintah Rwanda.
Dalam pernyataan terbaru, para pemberontak menyebut bahwa aksi mereka dilakukan untuk melindungi komunitas Tutsi yang terpinggirkan di wilayah tersebut. Namun, tindakan mereka justru menyebabkan eskalasi kekerasan yang membahayakan jutaan penduduk sipil.
Reaksi Internasional
Insiden ini mendorong Dewan Keamanan PBB untuk mengadakan pertemuan darurat guna membahas situasi yang semakin memburuk di Kongo. Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, mengecam keras serangan terhadap pasukan penjaga perdamaian dan menyerukan penghentian segera kekerasan.
“Serangan terhadap penjaga perdamaian adalah pelanggaran berat hukum internasional. Kami mendesak semua pihak untuk menghormati mandat MONUSCO dan melindungi warga sipil,” tegas Guterres dalam konferensi pers.
MONUSCO: Misi di Tengah Bahaya
Misi Stabilisasi PBB di Kongo, atau MONUSCO, telah beroperasi selama lebih dari dua dekade dengan tujuan menjaga perdamaian dan stabilitas di negara yang dilanda konflik berkepanjangan. Dengan lebih dari 14.000 personel di lapangan, MONUSCO menghadapi tantangan besar dalam menjalankan misinya.
Namun, serangan-serangan seperti ini menunjukkan betapa berbahayanya tugas mereka di zona konflik. Banyak pengamat internasional menyerukan perlunya evaluasi ulang terhadap strategi MONUSCO untuk memastikan efektivitas sekaligus keselamatan pasukan di lapangan.
Dampak Bagi Warga Sipil
Pertempuran di Kongo tidak hanya berdampak pada pasukan penjaga perdamaian, tetapi juga pada jutaan warga sipil yang terjebak di tengah konflik. Ribuan orang telah mengungsi, meninggalkan rumah dan harta benda mereka demi mencari keselamatan. Situasi kemanusiaan di Goma semakin memburuk, dengan kekurangan makanan, air bersih, dan layanan kesehatan yang memadai.
Kesimpulan
Tragedi ini menggarisbawahi risiko besar yang dihadapi oleh pasukan penjaga perdamaian internasional dalam menjalankan tugas mereka. Dunia internasional harus bersatu untuk memberikan dukungan yang diperlukan, baik kepada MONUSCO maupun kepada warga sipil yang terdampak konflik di Kongo.
Apakah perdamaian sejati dapat tercapai di wilayah yang telah lama dilanda konflik ini? Hanya waktu yang akan menjawab, tetapi satu hal yang pasti: pengorbanan para penjaga perdamaian tidak akan pernah terlupakan.