Sarangberita.com – Asia tengah mengalami fase kritis terkait perampasan tanah dan meningkatnya konflik agraria. Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai laporan menunjukkan lonjakan kasus pengambilalihan lahan secara paksa oleh pemerintah, perusahaan, maupun kelompok elite ekonomi di berbagai negara Asia. Fenomena ini memicu ketegangan sosial, gelombang protes, hingga bentrokan antara masyarakat dengan aparat keamanan.
Lonjakan Kasus Perampasan Tanah di Asia
Menurut laporan terbaru dari Asian Farmers’ Alliance (AFA) dan Land Watch Asia, perampasan tanah di Asia meningkat hingga 30% dalam lima tahun terakhir. Beberapa negara dengan kasus tertinggi antara lain India, Indonesia, Filipina, Kamboja, dan Myanmar.
Perampasan tanah ini umumnya terjadi akibat:
- Ekspansi proyek infrastruktur seperti jalan tol, pelabuhan, dan kawasan industri.
- Investasi besar-besaran di sektor perkebunan dan pertambangan.
- Alih fungsi lahan pertanian menjadi properti komersial.
- Proyek konservasi yang menggusur masyarakat adat dari tanah leluhur mereka.
Di Indonesia, konflik agraria marak terjadi di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi, di mana perusahaan kelapa sawit dan tambang kerap berhadapan dengan masyarakat adat serta petani kecil. Sementara itu, di Filipina, proyek pembangunan di kawasan pedesaan menyebabkan ribuan petani kehilangan lahan garapan mereka.
Konflik Sosial dan Gelombang Protes
Seiring meningkatnya kasus perampasan tanah, protes dari kelompok masyarakat sipil, petani, dan organisasi lingkungan semakin sering terjadi. Bentrokan dengan aparat keamanan tidak jarang berujung pada kekerasan, penangkapan aktivis, bahkan korban jiwa.
Di Myanmar, konflik agraria semakin rumit akibat ketidakstabilan politik pascakudeta militer. Banyak komunitas lokal kehilangan tanah mereka karena proyek infrastruktur yang didukung oleh investor asing.
Sementara di India, petani turun ke jalan dalam demonstrasi besar-besaran menentang kebijakan pertanahan yang dinilai lebih menguntungkan korporasi daripada rakyat kecil.
Dampak Perampasan Tanah
Fenomena ini tidak hanya berdampak pada individu yang kehilangan tempat tinggal dan sumber penghidupan, tetapi juga menyebabkan masalah yang lebih luas, seperti:
- Meningkatnya kemiskinan dan kesenjangan sosial.
- Penurunan ketahanan pangan akibat menyusutnya lahan pertanian.
- Kerusakan lingkungan akibat eksploitasi lahan secara masif.
- Terganggunya stabilitas politik dan keamanan di berbagai negara.
Upaya Penyelesaian dan Respons Pemerintah
Beberapa negara mulai merespons meningkatnya konflik agraria dengan berbagai kebijakan. Di Indonesia, pemerintah sedang mengkaji reformasi agraria dan program redistribusi lahan untuk masyarakat kecil. Sementara itu, di Filipina, ada desakan kuat dari parlemen agar peraturan tentang kepemilikan tanah lebih melindungi petani dan masyarakat adat.
Namun, banyak aktivis menilai kebijakan yang ada masih belum cukup tegas untuk melindungi hak-hak masyarakat yang terdampak. Organisasi hak asasi manusia menyerukan agar pemerintah lebih transparan dalam proyek-proyek pembangunan dan melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait lahan mereka.
Kesimpulan
Asia saat ini menghadapi tantangan besar terkait perampasan tanah dan konflik agraria. Dengan meningkatnya tekanan dari kelompok masyarakat sipil, ada harapan bahwa kebijakan yang lebih adil dapat diterapkan guna melindungi hak-hak rakyat kecil.
Diperlukan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan organisasi internasional untuk memastikan bahwa pembangunan ekonomi tidak mengorbankan hak-hak agraria serta keberlanjutan lingkungan.