Sarangberita.com, 20 Juli 2025 – Konflik bersenjata di Provinsi Suwayda, Suriah selatan, terus berlanjut meski Presiden transisi Suriah Ahmed al-Sharaa mengumumkan gencatan senjata nasional pada Sabtu (19/7).
Bentrokan antara milisi Druze dan suku Badui Arab, yang dipicu penculikan pada 13 Juli, telah menewaskan lebih dari 510 orang. Termasuk 79 milisi Druze, 154 warga sipil, dan 243 personel pemerintah, menurut Syrian Observatory for Human Rights.

Baca Juga
Perang Lawan Arab Badui di Suriah, Kenapa Druze Dibantu Israel?
Pemerintah Sharaa, yang menggantikan rezim Bashar al-Assad pada Desember 2024, menghadapi tantangan besar untuk menegakkan gencatan senjata. Pasukan pemerintah yang dikerahkan untuk meredam konflik dituduh menyerang warga Druze, memicu serangan udara Israel ke Sweida dan Damaskus pada 15-18 Juli, yang diklaim sebagai “perlindungan” bagi minoritas Druze. Namun, pemimpin Druze menolak campur tangan Israel, menegaskan komitmen pada kesatuan Suriah.
Meski gencatan senjata disepakati dengan mediasi AS, Turki, dan Yordania, laporan di X menyebut pertempuran sporadis masih terjadi di pusat kota Suwayda antara milisi Druze yang didukung Israel dan kelompok Ahlussunah Badui.
Baca Juga
Houthi Kembali Serang Israel, Pelabuhan Eilat Tutup Permanen
“Tidak ada implementasi nyata gencatan senjata,” tulis akun Kementerian Pertahanan Suriah mengancam sanksi hukum bagi pelaku pelanggaran, namun kontrol lemah di Suwayda memperumit situasi.
Pemerintah Sharaa menyerukan dialog antar-komunitas Druze, Badui, dan Sunni untuk membangun “identitas Suriah yang bersatu.” Namun, ketegangan sektarian dan intervensi Israel, yang juga menargetkan aset militer Suriah untuk melemahkan pemerintahan baru, menyulitkan upaya damai. Rusia dan Indonesia mengecam serangan Israel sebagai pelanggaran kedaulatan Suriah.
Baca Juga : Presiden Prabowo Bertemu Raja Belgia, Disambut Hangat di Istana Laeken